Friday, July 10, 2015

Menjelajah Nusantara Melalui Kopi di Tirana Coffee Corner


Apalagi koleksi kopi di Tirana akan terus ditambah. Dalam waktu dekat ini, akan datang anggota baru dari Toraja dan Papua. Kopi Toraja sudah banyak yang mengakui kenikmatannya. Sedangkan kopi Papua-nya berasal dari Baliem, Wamena, yang istimewa karena ditanam secara organik.

Jika Anda penggemar kopi, ada tempat baru untuk ‘berkopi ria’. Bukan saja bisa memilih jenis-jenis kopi dari berbagai daerah di Nusantara tapi Anda bisa mereguk kopi sepuasnya tanpa dikenai tambahan biaya. Nama tempatnya Tirana Coffee Corner. Disebut demikian karena tempatnya tidak berdiri sendiri tapi bagian dari Tirana House, sebuah butik dan artspace, di Jl Suryodiningratan No. 53-55 Yogyakarta. Ada beberapa kursi di teras, dalam dan belakang yang bisa dipakai untuk ‘ngopi-ngopi’.
Di sudut dekat kasir berjejer toples-toples berisi bubuk kopi. Ada delapan jenis kopi yang ditawarkan, yakni kopi Medan, Aceh, Riau, Palembang, Lampung, Bali, Flores, dan Jawa. Di sampingnya terdapat dispenser air mineral, gula pasir, cangkir dan tisu. Pengunjung memang dipersilakan untuk menyeduh kopi sendiri. Menakar sendiri kekentalan kopi sesuai selera.  ‘Independen’, lebih mewakili selera pribadi, bukan selera warung kopinya.

Secara umum, mungkin bisa dibedakan tiga jenis warung kopi. Pertama, warung kopi sederhana yang menjual kopi sachet-an, semacam di angkringan dan warung mi instan. Kedua, warung yang mengandalkan olahan kopi dengan berbagai rasa. Misalnya, espreso, macchiato, cappuccino, atau café latte. Dalam hal tertentu pembuat kopinya perlu keahlian tersendiri, biasanya seorang barista. Ketiga, warung kopi yang mengandalkan beragam jenis kopi, biasanya dari berbagai daerah di Nusantara.
Kategori yang ketiga ini termasuk jarang. Jadi kehadiran Tirana terasa mengisi sedikitnya warung kopi jenis ini. Terlebih, pengunjung diwajibkan membuat kopi sendiri (self service). Apalagi boleh menambah kopi sendiri (refillable). Warung kopi yang memakai konsep refillable rasanya baru di Tirana ini.
Pemilik Tirana, Nunuk Ambarwati, memaparkan bahwa konsep ini dikembangkannya karena ia melihat budaya minum kopi di Yogya cukup tinggi. Selain itu Nunuk, yang juga dikenal sebagai kurator dan penulis seni rupa, ingin menjadikan Tirana sebagai “tempat nongkrong”. Sebagai artspace, Tirana kerap menyelenggarakan beragam kegiatan, termasuk pameran seni rupa. Kali ini, lomba menulis puisi. Sebelumnya lomba fotografi. Tempat ini juga dilengkapi dengan fasilitas wi-fi gratis.
Bagaimana respon pengunjung dengan konsep unik Tirana ini? Ternyata menurut Nunuk, banyak pengunjung yang masih canggung untuk membuat kopi sendiri. Rata-rata saat ditawarkan untuk membuat kopi sendiri, ekspresi mereka terperangah. Bahkan ada yang membatalkan niat minum kopinya. Kalau pun ada yang tetap memesan, hanya satu jenis kopi dan satu cangkir saja.
Mungkin soal waktu. Pada saatnya para penggemar kopi akan datang, berlama-lama menyeruput kopi, mencecap kenikmatannya, entah sendiri sambil menatap laptop atau sambil berbincang-bincang dengan kawan-kawannya. Apalagi koleksi kopi di Tirana akan terus ditambah. Dalam waktu dekat ini, akan datang anggota baru dari Toraja dan Papua. Kopi Toraja sudah banyak yang mengakui kenikmatannya. Sedangkan kopi Papua-nya berasal dari Baliem, Wamena, yang istimewa karena ditanam secara organik.
Keunikan yang lain, terkait dengan peran artspace-nya, mug-mug kopi yang disediakan merupakan hasil disain seniman-seniman muda berbakat. Mulai dari Roby Dwi Antono, Isa Indra Permana, Vyo Rizky Ramadhan, hingga Tina Wahyuningsih. Desainnya dicetak terbatas, satu desain untuk maksimal 20 mug. Mug-mug ini bisa dibeli dengan harga Rp 55.000 per biji.
Aneka ragam kopi ini, menurut Nunuk, diperoleh dari berbagai daerah. Uniknya, Nunuk mendapatkannya bukan dari suplier tapi dari teman dan saudara. Meski jika memakai suplier lebih praktis, tapi Nunuk lebih mementingkan pertemanan. Jaringan pertemanan ini, selain penting, agaknya juga lebih tulus sehingga pilihan kopinya juga bisa lebih dipercaya.
Dari temannya di Bali yang berprofesi penari, Nunuk mendapat kopi Bali. Dari pamannya di Palembang, ia mendapat kopi Palembang. Dari temannya yang dulu tinggal di Yogya lantas kembali ke Flores, ia mendapat kopi Flores. Masih berupa biji-bijian, kopi Flores ini ditumbuk secara manual oleh temannya, dan dikirim ke Nunuk dalam bentuk bubuk. Ditumbuk dengan hati, istilah Nunuk.
Kopi Riau dan kopi Flores-nya, menurut Tembi, paling mantap. Dengan kekentalan tinggi dan rasa yang kuat. Sedangkan kopi Lampung-nya termasuk yang paling lembut dan ringan. Dengan kekhasannya masing-masing, semua kopi ini memang nikmat diteguk perlahan-lahan.
Siang itu, Tembi mencoba semua jenis kopi yang ada hanya dengan membayar Rp 10.000, harga yang sebenarnya hanya untuk satu mug kopi. Tembi merasa dimanja dengan variasi kopi yang ada. Diminum tanpa gula, semuanya sungguh nikmat. Efek lainnya, rasa kantuk akibat begadang pada malam sebelumnya lenyap seketika.
Bisa dibilang, ‘ngopi’ di Tirana adalah ‘ngopi’ yang “alami”. Tanpa tambahan perasa, krim, susu atau cokelat. Dengan begitu lebih mencuat kekhasan rasa kopinya sesuai dengan daerahnya masing-masing. Di sini, kekayaan Nusantara dapat dijelajahi lewat teguk demi teguk satu atau lebih mug kopi. Dan agaknya, beserta meningkatnya apresiasi terhadap cita rasa kopi Nusantara.
Makan yuk ..!
Naskah dan foto: Barata
Dimuat di http://tembi.net/kuliner/menjelajah-nusantara-melalui-kopi-di-tirana-coffee-corner

No comments:

Post a Comment